Ingatkah kalian pd Panglima perang Thariq bin Ziyad?
Thariq bin ZIyad bersama 7000 tentara, yang mayoritas berasal dari suku Berber, menyeberang ke Spanyol di tahun 711 M. ia mendarat dekat gunung batu besar yang kelak dinamai dengan namanya, Jabal (gunung) Thariq, Orang Eropa menyebutnya Gilbraltar..
Setelah berhasil menyeberang ke daratan Spanyol, tiba-tiba Thariq mengambil langkah yang hingga sampai kini membuat tercengang para ahli sejarah. Ia membakar perahu-perahu yang digunakan untuk mengangut pasukannya itu. Lalu ia berdiri di hadapan para tentaranya seraya berpidato dengan lantang berwibawa, dan tegas.
Dalam pidatonya yang penuh semangat, panglima Thariq berkata;
“Di mana jalan pulang? Laut berada di belakang kalian. Musuh di hadapan kalian. Sungguh kalian tidak memiliki apa-apa kecuali sikap benar dan sabar. Musuh-musuh kalian sudah siaga di depan dengan persenjataan mereka. Kekuatan mereka besar sekali. Sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, dan tidak ada makanan bagi kalian kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian. Sekiranya perang ini berkepanjangan, dan kalian tidak segera dapat mengatasinya, akan sirnalah kekuatan kalian. Akan lenyap rasa gentar mereka terhadap kalian. Oleh karena itu, singkirkanlah sifat hina dari diri kalian dengan sifat terhormat. Kalian harus rela mati. Sungguh saya peringatkan kalian akan situasi yang saya pun berusaha menanggulanginya. Ketahuilah, sekiranya kalian bersabar untuk sedikit menderita, niscaya kalian akan dapat bersenang-senang dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, janganlah kalian merasa kecewa terhadapku, sebab nasib kalian tidak lebih buruk daripada nasibku…”
Selanjutnya ia berteriak kencang: “Perang atau mati!” Pidato yang menggugah itu merasuk ke dalam sanubari seluruh anggota pasukannya.
Tanpa keraguan sedikit pun, panglima itu memerintahkan pasukannya untuk membakar kapal-kapal yang telah membawa mereka. Banyak orang mungkin bertanya. Bukankah kapal-kapal itu adalah aset? Bukankah aset perang justru seharusnya dijaga? Tidak! Itulah prinsip sang panglima. Secara Zahir, memang kapal-kapal itu telah habis terbakar, namun pada hakikatnya perintah ini telah membakar habis pilihan untuk menjadi pecundang dan pengecut serta menyisihkan dua pilihan, yang keduanya mulia. Menangkan pertempuran atau mati syahid. Disinilah terbentuk kesamaan visi dan misi antara pemimpin dan bawahan dalam membangun tim yang kompak dan padu. Langkah ini telah membuahkan kemenangan. Sebuah kemenangan yang telah mengantarkan umat islam memasuki babak baru, dakwah di bumi Andalusia
Panglima itu adalah Thariq bin Zayid, seorang pahlawan muslim pembebas Andalusia yang namanya diabadikan untuk menyebut bukit karang stinggi 450 meter di semenanjung pantai tenggara spanyol. Jabal Thariq, begitulah orang Arab menamai bukit itu. Lidah Eropa menyebutnya Gibratar (M. Karebet Widjajakusuma, 2007).
Apa Hikmah dari Kisah Di atas?
Ada beberapa hikmah yang bisa kita ambil dari kisah di atas, yang mana hikmah ini akan menjadikan kita sadar bahwa selama ini kita terlalu takut untuk mengambil sebuah pilihan sukses. Berikut hal-hal yang patut kita lakukan
Thariq bin ZIyad bersama 7000 tentara, yang mayoritas berasal dari suku Berber, menyeberang ke Spanyol di tahun 711 M. ia mendarat dekat gunung batu besar yang kelak dinamai dengan namanya, Jabal (gunung) Thariq, Orang Eropa menyebutnya Gilbraltar..
Setelah berhasil menyeberang ke daratan Spanyol, tiba-tiba Thariq mengambil langkah yang hingga sampai kini membuat tercengang para ahli sejarah. Ia membakar perahu-perahu yang digunakan untuk mengangut pasukannya itu. Lalu ia berdiri di hadapan para tentaranya seraya berpidato dengan lantang berwibawa, dan tegas.
Dalam pidatonya yang penuh semangat, panglima Thariq berkata;
“Di mana jalan pulang? Laut berada di belakang kalian. Musuh di hadapan kalian. Sungguh kalian tidak memiliki apa-apa kecuali sikap benar dan sabar. Musuh-musuh kalian sudah siaga di depan dengan persenjataan mereka. Kekuatan mereka besar sekali. Sementara kalian tidak memiliki bekal lain kecuali pedang, dan tidak ada makanan bagi kalian kecuali yang dapat kalian rampas dari tangan musuh-musuh kalian. Sekiranya perang ini berkepanjangan, dan kalian tidak segera dapat mengatasinya, akan sirnalah kekuatan kalian. Akan lenyap rasa gentar mereka terhadap kalian. Oleh karena itu, singkirkanlah sifat hina dari diri kalian dengan sifat terhormat. Kalian harus rela mati. Sungguh saya peringatkan kalian akan situasi yang saya pun berusaha menanggulanginya. Ketahuilah, sekiranya kalian bersabar untuk sedikit menderita, niscaya kalian akan dapat bersenang-senang dalam waktu yang lama. Oleh karena itu, janganlah kalian merasa kecewa terhadapku, sebab nasib kalian tidak lebih buruk daripada nasibku…”
Selanjutnya ia berteriak kencang: “Perang atau mati!” Pidato yang menggugah itu merasuk ke dalam sanubari seluruh anggota pasukannya.
Tanpa keraguan sedikit pun, panglima itu memerintahkan pasukannya untuk membakar kapal-kapal yang telah membawa mereka. Banyak orang mungkin bertanya. Bukankah kapal-kapal itu adalah aset? Bukankah aset perang justru seharusnya dijaga? Tidak! Itulah prinsip sang panglima. Secara Zahir, memang kapal-kapal itu telah habis terbakar, namun pada hakikatnya perintah ini telah membakar habis pilihan untuk menjadi pecundang dan pengecut serta menyisihkan dua pilihan, yang keduanya mulia. Menangkan pertempuran atau mati syahid. Disinilah terbentuk kesamaan visi dan misi antara pemimpin dan bawahan dalam membangun tim yang kompak dan padu. Langkah ini telah membuahkan kemenangan. Sebuah kemenangan yang telah mengantarkan umat islam memasuki babak baru, dakwah di bumi Andalusia
Panglima itu adalah Thariq bin Zayid, seorang pahlawan muslim pembebas Andalusia yang namanya diabadikan untuk menyebut bukit karang stinggi 450 meter di semenanjung pantai tenggara spanyol. Jabal Thariq, begitulah orang Arab menamai bukit itu. Lidah Eropa menyebutnya Gibratar (M. Karebet Widjajakusuma, 2007).
Apa Hikmah dari Kisah Di atas?
Ada beberapa hikmah yang bisa kita ambil dari kisah di atas, yang mana hikmah ini akan menjadikan kita sadar bahwa selama ini kita terlalu takut untuk mengambil sebuah pilihan sukses. Berikut hal-hal yang patut kita lakukan
- Kita harus menguatkan motivasi diri kita dengan menyingkirkan penghalang-penghalang yang akan mempengaruhi keputusan kita. Tidak ada keputusan lain selain keputusan untuk sukses, tidak ada sebuah keputusan untuk mundur atau menyerah. Keputusan untuk mundur atau menyerah adalah keputusan terburuk yang akan membuat kita menjadi pecundang sejati. Untuk itu mulai sekarang kita harus berani keluar dari Comfort Zone kita, memperkuat komitmen dan selalu yakin bahwa jalan terbaik untuk meraih kesuksesan adalah dengan terus melangkah maju dengan sebuah keyakinan bahwa kita akan mencapai sebuah kemenangan yang lebih berarti.
- Sukses itu tidak bisa sendiri, entah kita sebagai personal maupun organisasi, kita harus menyatukan visi dan cara pandang kita tentang kesuksesan. Seperti apa yang dilakukan oleh Panglima Thariq dan bala tentaranya, sungguh tidak mungkin kemenangan akan mereka raih jika mereka tidak memiliki visi dan cara pandang sama. Inilah contoh yang wajib kita tiru sebagai pemimpin, kita wajib memberikan motivasi dan pemahaman kepada rekan kerja dan karyawan untuk senantiasa memegang teguh semangat dan visi yang telah di bangun. Kemenangan adalah tanggung jawab bersama. Sehebat apa pun pemimpin, tapi tanpa sebuah kerja tim yang solit dengan para karyawan maka apa yang diusahakan bisa sia-sia.
- Teruslah istiqomah dalam mengambil keputusan yg telah diambil, InsyaAllah apabila tidak ada keraguan didalamnya, dengan segala resiko kita harus mempertimbangkan secara menyeluruh dan menganalisis secara cermat, akan di permudah jalan untuk kesuksesan.